Waktu
oleh : Erna
Erpiana
Aku
terus berlari dan berlari, aku sangat berharap hari ini adalah hari
keberuntunganku. Aku berharap masih memiliki kesempatan untuk dapat melihat
ayah dan ibuku tersenyum, setidaknya sekejap saja. Aku terus berlari tanpa memperhatikan
setiap mata memandang aneh padaku.
“Pak, apa bu Merlin ada
diruangannya?”, tanyaku terenggah-enggah pada pak Heru staff Tata Usaha prodi
“oh, ada”, jawab Pak Heru tanpa
meliriku sedikitpun.
Aku
cepat-cepat berlari keruang Bu Merlin, berharap ada satu keajaiban bagiku.
Beruntung beliau ada, Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam padanya.
“masuk”, Bu Merlin meliriku, “masih
berani rupanya kamu datang”, Bu Merlin menyecarku tanpa memberiku kesempatan
menjelaskan.
“Bu, saya datang kemari untuk..”
“untuk lulus kuliah secepatnya?”
potong Bu Merlin menatapku tajam.
“saya, mohon kemurahan hati Ibu”,
aku memohon, berharap Bu Merlin sudi membantuku.
“Rian, saya sudah sangat pengertian.
Apa yang bisa saya lakukan jika setiap bimbingan kamu tidak pernah datang. Dan
sekarang kamu ingin lulus bersama dengan teman-temanmu yang rajin bimbingan dan
sudah hampir selesai, sedangkan kamu?”, Bu Merlin menarik nafas, seolah
kehabisan kata menghadapi mahasiswanya yang sangat sulit diurus sepertiku.
“Tapi, bu..”, aku tetap mencoba
memohon padanya, dibalik sorot matanya yang tajam, aku tahu bu Merlin sangat
peduli pada seluruh mahasiswa bimbingannya.
“Tapi, Kali ini tidak Rian, cobalah
tahun depan”, Bu Merlin berdiri dan merapihkan tasnya,”sudah sore, saya harus
pulang”. Langkahnya terhenti, “Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu petik
Rian, tidak ada yang bisa membantu selain dirimu sendiri”.
***
Semua
mahasiswa di Auditorium kampus siang ini begitu riuh membahana, dengan sorak
suka cita kawan-kawan seangkatanku yang lulus studinya. Para orangtua
berdatangan dengan wajah berseri-seri berfoto bersama anaknya yang gagah dan
anggun mengenakan toga, jubah longgar perlambang kebesaran yang dikenakan oleh mahasiswa yang telah
berhasil, mahasiswa yang menang.
Hatiku pilu melihat pemandangan ini,
betapa ada sebuah rasa sesak didada yang sangat membuatku serasa tak kuat
berpijak dibumi ini. Dari jarak jauh, aku dapat melihat kawan-kawanku, Yogi
teman satu kost ku, senyumnya mengembang merangkul kedua orangtuanya.
Aku
tidak sanggup menerima kenyataan dan kesalahan yang telah aku perbuat. Bahkan untuk
membalas surat ibu dari kampung beberapa waktu yang lalu aku benar-benar tidak
sanggup.
Assalamualaikum,
semoga ananda sehat diperantauan.
Maaf sudah lama Ibu dan Ayah tidak mengirimi
ananda surat. Bahkan, untuk dua bulan belakangan ibu tidak mengirimi ananda
uang saku. Bukan Ibu tidak ingat, tapi ayah sedang butuh biaya pengobatan,
ayahmu sakit keras nak. Surat ini juga ibu minta dituliskan pada Mila, tetangga
kita anak Pak Lurah. Ananda kan tahu Ibu buta huruf. Ayah hanya berpesan, Kapan
ananda wisuda, ayah selalu menghitung, ayah bilang tahun ini ananda lulus.
Syukur Alhamdulillah. Ayah ingin ke Jakarta, beliau terus melawan penyakitnya
demi menyaksikan ananda diwisuda, pakai toga katanya.
Sekian dulu ya,
jangan lupa berdoa pada Allah agar dipermudah lulusnya.
Kini,
apa yang akan aku katakan pada Ibu, seandainya beliau tahu aku belum satu bab
pun menulis skripsi. Lantas, bagaimana perasaan ayah andai tahu aku gagal, aku
pecundang.
Aku
benar-benar tidak bisa berpikir jernih lagi, semua rasanya sudah terlambat.
Teman-teman yang suka mengajaku party kini sudah beberapa minggu tak ada kabar.
Pekerjaanku sebagai kurir narkoba yang penghasilannya sangat besar, kini tak
pernah aku dikontak lagi oleh bos. Dan perempuan-perempuan yang selalu menemani
saat aku banyak uang, tidak aku jumpai seorangpun ditempat mereka
masing-masing. Semua seolah pergi meninggalkanku, disaat aku hancur, disaat aku
benar-benar terperosok dalam lubang yang dalam.
Hari
ini, sewa kamar kost ku habis. Bu Ely sudah menggedor-gedor pintu kamarku
setiap pagi. Sudah jatuh tempo seminggu aku belum juga mampu melunasi, bahkan
untuk makan aku harus tunggu sampai uang ngamen bisa cukup untuk sebungkus nasi
dan tempe atau tahu, kadang tidak sama sekali.
Aku benar-benar
sudah tak punya harapan hidup di Jakarta. Aku harus memilih, pulang sebagai
pecundang, melihat wajah renta ayah yang sudah empat tahun yang lalu tak pernah
bertemu, atau merantau dan meninggalkan Jakarta. Kawanku Langgan dari Sumatra
menawari untuk bekerja di daerahnya. Ia memang akan kembali ke Sumatra setelah
lulus kuliah. Langgan kawan seangkatanku, ia kini telah lulus menikmati
manisnya kesuksesan. Nampaknya ia prihatin dengan kondisiku, dan menawarkan
pekerjaan dipeternakan milik pamannya. Peternakan, mungkin itulah hasil yang
harus aku petik dari buah perbuatanku selama di Jakarta, aku tidak memanfaatkan
amanah orangtua untuk belajar, aku terlena dengan gemerlap yang dijanjikan Kota
Metropolitan ini.
***
Setahun sudah aku
tinggal mengurusi peternakan yang sehari-harinya yang kulihat hanya kerbau, rumput,
kandang, dan kotoran. Mengenaskan. Tiba-tiba aku teringat Ayah dan Ibu, ya
Allah, bagaimana keadaan mereka sekarang. Bahkan saking pecundangnya, aku tidak
berani mengirim surat pada mereka dan mengabarkan kondisiku. Aku tidak tahu,
apakah ayah sudah sehat atau tidak. Aku tidak bisa bayangkan persaan mereka
saat menanti undangan acara wisuda yang tak kunjung datang. Hatiku pilu, aku
sangat merindukan mereka.
Selat
sunda yang nampak tenang, tidak setenang hatiku yang akan menghadap orangtuaku.
Aku putuskan pulang apapun yang terjadi, aku tidak bisa hidup terus dalam
pelarian rasa bersalah terhadap orangtuaku. Terlebih aku sangat merindukan
mereka. Beberapa jam lagi, kapal ini akan merapat ke pelabuhan tanjung priuk.
Aku akan mendaratkan kembali kakiku di ibu kota, dan melanjutkan perjalananku
ke kampung halaman.
Hatiku
terasa tak menentu, aku melangkah perlahan mendekati rumah tua yang halamannya
masih nampak sama seperti lima tahun yang lalu, hanya cat dan kayunya yang
tampak labih kusam. Dari jauh aku dapat melihat seorang gadis sedang menyapu
halaman, itu Rina, adiku. Ya Allah, Rina kini sudah tampak lebih besar sejak
pertama aku meninggalkannya. Aku menangis pilu, kakiku terasa beku. Berat
sekali untuk melangkah mendekati rumah penuh sejarah ini. Aku hampir tak punya
nyali untuk mendekat.
“Rian”,
suara serak dan parau terdengar dari belakang punggungku. Aku menoleh, aku
hampir tidak bisa mengenali. Wanita tua yang sangat lusuh penuh lumpur dan
kotor.
“Ibu..”,
aku bergetar, sungguh aku tidak salah lihat. Sungguh ia adalah ibuku. Aku
memeluknya dan hampir tersungkur dikakinya, aku terisak hampir tak bersuara.
Terasa sungguh sakit. Lama kami hanyut dalam keharuan.
“kemana
saja kamu nak, kenapa tidak pernah ada kabar? Kenapa baru pulang?”, ibu terisak,
suaranya terasa begitu berat.
“Ayah
mana bu? Ayah sehat?”, aku belum bisa bercerita banyak. Yang ingin aku tahu
sekarang adalah kondisi ayah yang setahun lalu dikabarkan sakit keras. Ibu
menarik nafas dalam, dan mulai bercerita.
“saat
ibu mengirim surat padamu, mengabarkan ayah sakit. Saat itu juga ayah berusaha
keras untuk sembuh, ingin menyaksikan bujangnya diwisuda di Jakarta. Lama
ananda tidak memberi kabar, akhirnya ayah sembuh dengan tekadnya menyusul
ananda ke kota. Saat sampai di Jakarta, betapa hancur hati Ayah, tidak
mendapati Rian sebagai wisudawan tahun itu, dicari ke tempat kost juga ananda
tidak ada..kata ibu dosen ananda jarang masuk kuliah”, ibu terisak sampai
nafasnya terasa sesak. Namun ibu kembali malanjutkan ceritanya.
“sejak saat itu, ayah pulang dari
Jakarta dan tidak pernah mendapat kabar darimu, sakitnya pun kambuh lagi.
Bahkan lebih parah, pikirannya terganggu, ia terkena saraf hingga mengalami
struk”, ibu kembali terisak lebih dalam dan lebih lama, hatiku tidak enak.
“terus ayah dimana sekarang bu?”, aku
menanti apa yang akan ibu katakan.
“ayah sudah meninggal..”, tangis ibu
pecah, tanpa suara.
Aku merasa dunia, seluruh isi langit
dan bumi menatapku tajam dan meneriaki aku sebagai pecundang. Pengorbanan Ayah
yang begitu membanggakan aku yang bisa melanjutkan pendidikan tertinggi, kini
harus dibayar dengan rasa sakit yang menggerogoti ayah hingga menemui ajalnya.
Beberapa petak sawah yang dimiliki ayah, telah seluruhnya terjual untuk
membiayaiku selama aku kuliah di Jakarta. Rina, gadis pintar dan cantik, adiku
satu-satunya. Putus sekolah karena kekurangan biaya saat ayah sakit keras dan
tak mampu lagi mencukupi ekonomi keluarga.
Ibu, kondisinya
saat lima tahun yang lalu ketika aku pergi merantau untuk Kuliah di Jakarta,
belum setua sekarang. Tapi, kini ia lebih hitam legam, wajahnya semakin kusam
dan keriput, Ibuku, yang bau lumpur. Ternyata, harus menjadi buruh tani disawah
untuk menyambung hidup, dan membiayai pengobatan ayah, selama ayah sakit keras.
Dan kini, aku benar-benar resmi sebagai pecundang. Aku yang selalu dibanggakan ayah karena
prestasiku di sekolah, kini tak ada artinya. Karena ternyata, Jakarta tempat
aku melanjutkan pendidikan tinggi, membawa malapetaka akibat kelakuanku. Satu
hal yang aku tahu, aku mungkin bisa mengembalikan beberapa petak sawah yang
terjual demi biaya kuliahku yang gagal. Tapi, satu yang tidak bisa aku
kembalikan dan kucari keujung dunia manapun, yaitu waktu.
Bandung,
10 Maret 2012
Pukul
21:55 WIB